Senin, 12 November 2012

DAFTAR CHECKLIST PERLENGKAPAN KEGIATAN MENDAKI GUNUNG

A. Perlengkapan Utama
1.    Sepatu dan kaus kaki.
2.    Ransel (frame pack, ukuran besar, 30 – 60 liter).
3.    One day pack (ransel/tas kecil untuk mobilitas jarak pendek).
4.    Senter dan batere dan bolam ekstra.
5.    Ponco atau raincoat.
6.    Matras.
7.    Sleeping bag (atau sarung kalau tidak punya).
8.    Topi rimba.
9.    Tempat minum atau veples.
10. Korek api dalam wadah waterproof (tempat film) dan lilin.
11. Obat-obatan pribadi (P3K set).
12. Pisau saku.
13. Kompor untuk masak (kompor parafin dan parafin atau kompor tahu dan minyak tanah atau kompor gas dan tabung elpiji).
14. Nesting dan sendok dan cangkir.
15. Peluit (bagus: peluit SOS atau whistle).
16. Survival Kit).
17. Peta dan kompas.
18. Altimeter (kalau punya).
19. Tenda (bisa diganti ponco atau lembaran kain parasut untuk dijadikan bivak).
20. Parang tebas dan batu asah.
21. Tissue gulung (untuk membersihkan perangkat makan-minum bila tidak ada air, dan alat bersih diri habis buang air besar).
22. Sandal jepit.
23. Gaiter (untuk pendakian di daerah yang banyak pasirnya).
24. Kaus tangan.
25. Personal higiene: sikat gigi, odol, sabun mandi, shampo (untuk membersihkan diri saat di desa terakhir, atau saat dalam perjalanan bertemu dengan sungai yang bisa untuk bersih-bersih diri).
26. Tali plastik (sekitar 10 meter, untuk membuat bivak atau tenda) dan tali rafia.

B. Pakaian
1.    Pakaian dalam.
2.    Celana pendek.
3.    Celana panjang.
4.    Kaos/t-shirt.
5.    Sweater atau parka.
6.    Jaket (tahan air).
7.    Sarung.
8.    Kerpus atau balaclava.
9.    Scarf atau slayer.
10. Hem lengan panjang.
11. Pakaian ganti: kaus kaki, kaos, sweater, pakaian dalam.
12. Kaus tangan.
13. Jas hujan (raincoat atau ponco).

C. First Aid Kit
1.    Betadine.
2.    Kapas.
3.    Kain kassa.
4.    Perban.
5.    Rivanol.
6.    Alkohol 70%.
7.    Obat alergi: CTM.
8.    Obat maag.
9.    Tensoplast (agak banyak, mis: 4 pack, terutama untuk preventif ‘blister’ yang dikenakan sebelum perjalanan dilakukan).
10. Parasetamol.
11. Antalgin.
12. Obat sakit perut (diare): Norit, Diatab
13. Obat keracunan: Norit.
14. Sunburn preventif: Nivea atau Sunblock
15. Oralit (agak banyak, untuk mengganti cairan tubuh yang hilang; kalau tidak ada bisa diganti larutan gula-garam).

D. Survival Kit
1.    Kaca cermin.
2.    Peniti.
3.    Jarum jahit.
4.    Benang nilon.
5.    Mata pancing dan senar pancing.
6.    Silet atau cutter.
7.    Korek api dalam wadah water proof dan lilin.

E. Lain-Lain
1.    KTP atau Kartu Pelajar
2.    Uang
3.    Buku catatan perjalanan (jurnal, diary) dan bolpen.
4.    Kamera dan film (sekarang: kamera digital dan batere cadangan).
5.    Radio kecil dan batere cadangan.
6.    Alat komunikasi (HT, sekarang: HP).



Kamis, 08 November 2012

Link Download Buku



  1. SOE HOK GIE (CATATAN SEORANG DEMONSTRAN)
  2. SOE HOK GIE - DI BAWAH LENTERA MERAH
  3. Donny Dhirgantoro – 5cm (Part I)
  4. Donny Dhirgantoro – 5cm (Part II)

Catatan Seorang Petualang

*Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini. Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya. Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain juga yang membaca buku ini.

Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.

Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu saya sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibu dia cuma tersenyum dan berkata “Ah, mama tidak mengerti”.

Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju – mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orangtua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada saya, Hok Gie berkata: “Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si., saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”.

Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.

Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.

Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib. Herman Lantang. Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: “Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu”. Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya alah apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabannya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta.

Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab “Tidak. Mengapa?” Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, “untuk siapa peti mati ini?” Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. “Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?” Dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab “Dia orang berani. Sayang dia meninggal”.

Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami bercakap-cakap. Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus”. Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan hayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?

Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?

Tiba-tiba, saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya” atau “Tidak”, meskipun Cuma di dalam hatinya.

Saya terbangun dari lamunan saya ketika saya dipanggil naik pesawat terbang. Kami segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik “Gie, kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.

Arief Budiman (Soe Hok Djin)
(seperti dimuat dalam buku Catatan Seorang Demonstran edisi 1993)

Pencinta Alam


Sedikit sekali orang yang bisa memahami keadaan seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau mengalami apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.

Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, hi…!!!!!!!”

Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti – hentinya mencibir mereka. Dan begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka adalah pembual !!!!!

Peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut petualang ini. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.

Dan menjadi salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang - orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!! Kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal Columbus penemu Benua Amerika.

Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.

Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya.

Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian. Coba deh….!!!!!!!!

Penyakit karena alam, Indikasi dan penanganannya

A. Mountain Sickness
• Penyebab : Turunnya kadar oksigen udara pegunungan, menyebabkan turunnya kadar oksigen dalam darah dan akan berakibat langsung ke otak.
• Tanda-tandanya : Mual, muntah, haus, nafas tersengal, lemah, turun nafsu makan , pucat (kebiruan pada bibir dan kuku), pusing dan sakit kepala.
• Pertolongan : Prinsipnya, alirkan lebih banyak oksigen kedalam udara pernapasan dengan cara :
o Menggunakan tabung oksigen
o Turun Kembali ketempat yang lebih rendah
o Berusaha sendiri untuk bernafas lebih cepat dan lebih dalam (agar oksigen dapat terhisap lebih banya). Hati-hati karena dapat semakin pusing dan mual.
o Berjalan pelan-pelan, ambil istirahat dalam beberapa langkah sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan oksigen.

B. EXPOSURE
• Adalah keadaan kelelahan fisik dan mental yang disebabkan oleh keadaan alam/lingkungan.

1. Hipotermia
a. Biasa terjadi pada keadaan basah dan berangin ditempat yang dingin ditandai dengan suhu tubuh yang menurun, rasa lelah, sulit berbicara dan pikiran yang tak terkendali.

b. Pertolongan : Perbaiki keadaan, Ganti pakaian yang basah dengan yang kering jika ada beberapa lapis, istirahat dalam kantong tidur untuk mengurangi pengeluaran panas tubuh. Beri makanan dan minuman hangat agar suhu tubuh kembali normal

2.Heat Stroke
a. Disebabkan suhu yang tinggi dengan pemasukan cairan yang kurang. Dapat terjadi karena berada ditempat yang panas dalam waktu yang lama atau karena olah raga yang mengeluarkan banyak keringat tapi tidak diimbangi dengan cairan masuk yang memadai. Adapun tanda-tandanya antara lain suhu tubuh yang meningkat tak terkendali, keringat berkurang, sangat haus, sesak nafas, sakit kepala sampai penurunan kesadaran. Umumnya didahului dehidrasi.

b. Pertolongan : Bawa ketempat teduh, lindungi dari panas matahari, dinginkan kepala dengan kompres dingin dan beri minuman yang dingin.
Jika terjadi sesuatu hal yang sangat membahayakan selain yang diatas maka korban akan segera dilaporkan ke basecamp menggunakan radio dan langsung dibawa ke camp terdekat apabila tidak sanggup menangani korban, maka korban dibawa ke rumah sakit terdekat.

surat Soe Hok Gie

Dan mereka tidak berpikir kreatif, terlalu pragmantis. Kadang-kadang saya takut memikirkan masa depan. Minggu-minggu ini saja banyak berpikir. Lebih-lebih sejak saya pulang dari gunung. Mungkin karena kurang pekerjaan dan saya mencoba melakukan intropreksi pada diri saya sendiri. Tidak ada perasaan sedih tidak ada perasaan menyesal, ya tidak ada perasaan apa-apa. Seolah-olah semuanya sebagai angin dingin yang menggigilkan, tetapi saja tidak punya pilihan lain kecuali kenerimaannya. Saya tidak punya kegairahan seperti setahun yang lalu. Mungkin saja telah terlalu lelah, dan ingin menyelesaikan skripsi saja. Mungkin juga semuanya ini semacam tanda bahwa dunia saya berlainan dengan dunia teman-teman yang lebih muda. Dipintu rasanya telah mengetuk suara-suara halus yang menyilahkan saya untuk meninggalkan dunia yang begitu lama saya gauli. Bersama tertawa, bertengkar, ngobrol dll nya. Saya akan hadapi semuanya. 
Mungkin surat ini agak aneh untukmu. Dan mungkin surat seperti ini tidak kau harapkan. Kalau demikian maafkan, saya hanya sekedar ngeluh pada kamu. Selamat kerja, dan sampai lain kali.
Soe Hok Gie

Ben Anderson 
Profesor emeritus dalam bidang hubungan internasional di Universitas Cornell. Pakar sejarah dan politik Indonesia pada abad ke-20.

surat dari sahabat untuk sahabat (dari soe hok gie untuk herman o. lantang)

dan mereka tidak berpikir kreatif, terlalu pragmantis, kadang-kadang takut memikirkan masa depan. 
minggu-minggu ini saya banyak berpikir. lebih-lebih sejak saya pulang dari gunung. mungkin karena kurang pekerjaan dan saya mencoba mengadakan introspeksi pada diri saya sendiri. tidak ada perasaan sedih, tak ada perasaan menyesal, dan tidak ada perasaan apa-apa. seolah-olah semuanya sebagai angin dingin yang menggigilkan, tetapi saja tak punya pilihan lain kecuali kemenerimaannya. saya tak punya kegairahan seperti setahun yang lalu, mungkin saya telah terlalu lelah, dan ingin menyelesaikan skripsi saja. mungkin juga semuanya ini semacam tanda bahwa dunia saya telah berlainan dengan dunia teman-teman yang lebih muda. 

dipintu rasanya telah mengetuk suara-suara halus yang menyilahkan saya untuk meninggalkan dunia yang begitu lama saya gauli. bersama tertawa, bertengkar, ngobrol dll nya. saya akan hadapi semuanya.
mungkin surat ini agak aneh untukmu. dan mungkin surat seperti ini tidak kau harapkan. kalau demikian maafkan, saya hanya sekedar ngeluh pada kamu. selamat kerja, dan sampai lain kali.
soe hok gie